Pada saat
penerimaan raport, sudah bukan hal baru lagi jika kita melihat orangtua
mengomel-ngomel karena nilai anaknya yang jeblok.
Memang ada
banyak faktor yang mempengaruhi pemrosotan nilai raport anak. Bisa karena si
anak malas belajar, guru pembimbing yang bikin ngantuk dan ngebosenin,
kebencian terhadap suatu mata pelajaran dan lain sebagainya.
Tapi apa
–biasanya- respon orangtua setelah mendapati nilai raport anak yang ‘jongkok’?
Ada yang
tidak peduli sama sekali, ada yang marah sambil bentak-bentak, ada yang
menambah porsi belajar anak (disuruh ikut les ini-itu) dan yang paling sering
dilakukan adalah melarang kegiatan-kegiatan anak dan menciptakan
peraturan-peraturan baru.
Ah, nggak
usah munafik, jujur saja, anak tidak suka
diperlakukan seperti itu.
Namun sayang,
acap kali orangtua tak pernah (dan enggan) memahaminya. Kecuali bapak yang satu
ini. Gaya dandanan yang nyentrik—rambut panjang meniru hairstyle Bon Jovi tahun
80an (tapi malah lebih mirip Didi Kempot)—tidak lantas membuatnya meniru
kebiasaan orangtua lain.
Beliau
punya cara sendiri dalam menyikapi raport anak. Siapa lagi kalo bukan Pakdhe Raya S. Jokondokondo itu.
‘Memangnya
apa yang Pakdhe lakukan kalo nilai raport Akhadi, anak Pakdhe, jeblok?’ tanya
saya pada suatu kesempatan.
‘Saya ndak
pernah memarahi anak saya. Apa gunanya marah-marah? Daripada ngomel ndak jelas,
saya lebih suka melihat potensi yang dimiliki anak saya. Kemudian mengarahkan
dirinya ke prestasi yang sesuai dengan minat dan bakatnya.’
Pakdhe
Raya menyalakan rokok Marlboro Light-nya
dan melanjutkan penjelasannya. ‘Misal, nilai matematika di raport 4,5.
Sedangkan nilai seni budaya si raport malah 8,5. Pasti orangtua akan
mengikutsertakan anaknya ke les privat matematika. ITU KELIRU. Seharusnya orangtua mendaftarkan anaknya ikut les Seni
Budaya. Karena dilihat dari potensinya, anak lebih suka seni budaya ketimbang
matematika.’
‘Tapi
orangtua kebanyakan malah menyuruh si anak jungkir balik memperbaiki nilai
matematikanya kan, Pakdhe?’
‘Iya, itulah
kesalahan para orangtua. Mereka selalu kemakan gengsi, menyuruh anak berlari
ngos-ngosan demi mengejar prestasi akademis sampai setinggi puncak Mahameru.
Prestasi akademis memang penting, tapi kalo anak sudah mumet dan jlimet, opo
yo kudu dipaksakan?’
Saya diam,
mendengarkan wejangan Pakdhe Raya dengan seksama.
‘Sekarang
kan banyak to, Mas. Orang yang sudah dapat gelar Sarjana, eh tapi malah jadi
pengangguran. Begitu pula sebaliknya. Misalnya saja, saya ini sekolah cuman
sampai STM, sekarang saya bisa kerja mapan. Biarpun hanya jadi pemilik warung
Ayam Bakar, toh saya bisa mencukupi kebutuhan keluarga saya.
Maaf,
bukan maksud saya mombong, Mas. Menurut saya rejeki tiap orang memang berbeda.
Asalkan kita mau berusaha pasti rejeki akan datang dengan sendirinya—meski
tanpa diimbangi prestasi akademis yang melangit.’
‘Oh
begitu… Lha kalo orangtua yang suka memarahi anak karena nilai raport yang
jeblok, menurut Pakdhe gimana,baik apa nggak tradisi seperti itu?’
Pakdhe
Raya meniupkan asap rokok dari mulutnya. ‘Kalo soal itu, saya punya ilustrasi
cerita, Mas. Sampeyan mau dengar?’
‘Inggih
nuh, Pakdhe. Gimana ceritanya?’
‘Ini,
sambil ndengerin silakan nyambi makan
kacang godhok kesukaan saya.’ Pakdhe Raya menyodorkan sepiring kacang godhok
kesukaannya.
‘Jadi
begini, pada suatu siang, Bu Guru membagikan hasil ulangan kepada siswa. Dari
semua siswa, yang mendapat nilai jelek hanya dua anak. Sebut saja, mereka
adalah Nakula dan Sadewa. Keduanya harus puas dengan nilai 50.
Sesampainya
dirumah, baik Nakula maupun Sadewa memperlihatkan nilainya kepada Bapaknya. Apa
yang terjadi?
Nakula
langsung dimarahi dan dimaki habis-habisan sama Bapaknya. “kamu ini dirumah
pasti kejaannya cuman main terus, ndak pernah belajar! Iya, to?! Nilai kok
cuman 50!!! Bodoh dipelihara!!! Dasar GOBLOK!!!” begitu umpat Bapaknya.
Sedangkan
Sadewa, dirumahnya, dia sama sekali ndak dimarahi sama Bapaknya. Bapaknya malah
bilang begini, “Wah, dapet 50? Ndak pa-pa… lumayan. Bapak yakin kamu pasti bisa
lebih baik dari ini. Belajar lagi, nggih? Besok harus bisa dapat nilai yang lebih baik
dari ini.”
Beberapa
hari kemudian, kelas Nakula dan Sadewa kembali menghadapi ulangan. Setelah
dibagikan, ternya Nakula dan Sadewa mengalami perubahan yang signifikan.
Nakula
nilainya semakin turun, dia mendapat nilai 30. Sementara Sadewa malah
meningkat, dari yang semula 50 naik menjadi 70. Perbedaan yang mencolok ini
menunjukkan sikap para orangtua kita.
Kebanyakan
dari mereka hanya bisa marah-marah dan ngatur-ngatur tanpa mau mencari
solusinya. Mereka melupakan tiga hal yang sangat penting: mendidik, menasihati dan memotivasi anak.
Mereka
mengira dengan marah semuanya akan tuntas. Padahal tidak. Marah itu ndak
berguna, hanya buang-buang waktu dan akan membuat anak semakin down.
Dengan
marah, bukannya memotivasi anak supaya berubah menjadi baik, tapi malah
mengajarkan sang anak rasa penyesalan yang mendalam. Atau kalo dalam bahasa
pacaran, anak muda sering menyebutnya: NDAK
BISA MOVE ON.
Ah, andai
saja semua orantua paham dengan semua itu…’
‘Iya, ya,
Pakdhe… andai saja. Ya sudah, terima kasih Pakdhe atas penjelasannya. Saya
seneng ndengerin Pakdhe bercerita, sampai-sampai …. Ehem … kacang godhoknya
habis… hehehe.’
‘Hlah?
Kacang godhokku ludes? Bocah sontoloyo! Kacang kesukaanku diembat semua…..!’
‘Hahaha…
maaf, Pakdhe.’
(.‘’)(‘’.)
(.‘’)(‘’.)
Hayo, apa kamu masih suka diomelin ketika penerimaan raport?
(.‘’)(‘’.)
(.‘’)(‘’.)
Matur nuwun sudah kersa pinarak
ke gubuk kecil saya
Sebuah
gubuk, tempat menabung potongan kejujuran dan cuplikan angan
0 komentar:
Posting Komentar
Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!