Pages

Minggu, 27 Januari 2013

Raport Sontoloyo



Pada saat penerimaan raport, sudah bukan hal baru lagi jika kita melihat orangtua mengomel-ngomel karena nilai anaknya yang jeblok.

Memang ada banyak faktor yang mempengaruhi pemrosotan nilai raport anak. Bisa karena si anak malas belajar, guru pembimbing yang bikin ngantuk dan ngebosenin, kebencian terhadap suatu mata pelajaran dan lain sebagainya.

Tapi apa –biasanya- respon orangtua setelah mendapati nilai raport anak yang ‘jongkok’?

Ada yang tidak peduli sama sekali, ada yang marah sambil bentak-bentak, ada yang menambah porsi belajar anak (disuruh ikut les ini-itu) dan yang paling sering dilakukan adalah melarang kegiatan-kegiatan anak dan menciptakan peraturan-peraturan baru.

Ah, nggak usah munafik, jujur saja, anak tidak suka diperlakukan seperti itu.

Namun sayang, acap kali orangtua tak pernah (dan enggan) memahaminya. Kecuali bapak yang satu ini. Gaya dandanan yang nyentrik—rambut panjang meniru hairstyle Bon Jovi tahun 80an (tapi malah lebih mirip Didi Kempot)—tidak lantas membuatnya meniru kebiasaan orangtua lain.

Beliau punya cara sendiri dalam menyikapi raport anak. Siapa lagi kalo bukan Pakdhe Raya S. Jokondokondo itu.

‘Memangnya apa yang Pakdhe lakukan kalo nilai raport Akhadi, anak Pakdhe, jeblok?’ tanya saya pada suatu kesempatan.

‘Saya ndak pernah memarahi anak saya. Apa gunanya marah-marah? Daripada ngomel ndak jelas, saya lebih suka melihat potensi yang dimiliki anak saya. Kemudian mengarahkan dirinya ke prestasi yang sesuai dengan minat dan bakatnya.’

Pakdhe Raya menyalakan rokok Marlboro Light-nya dan melanjutkan penjelasannya. ‘Misal, nilai matematika di raport 4,5. Sedangkan nilai seni budaya si raport malah 8,5. Pasti orangtua akan mengikutsertakan anaknya ke les privat matematika. ITU KELIRU. Seharusnya orangtua mendaftarkan anaknya ikut les Seni Budaya. Karena dilihat dari potensinya, anak lebih suka seni budaya ketimbang matematika.’

‘Tapi orangtua kebanyakan malah menyuruh si anak jungkir balik memperbaiki nilai matematikanya kan, Pakdhe?’

‘Iya, itulah kesalahan para orangtua. Mereka selalu kemakan gengsi, menyuruh anak berlari ngos-ngosan demi mengejar prestasi akademis sampai setinggi puncak Mahameru. Prestasi akademis memang penting, tapi kalo anak sudah mumet dan jlimet, opo yo kudu dipaksakan?’

Saya diam, mendengarkan wejangan Pakdhe Raya dengan seksama.

‘Sekarang kan banyak to, Mas. Orang yang sudah dapat gelar Sarjana, eh tapi malah jadi pengangguran. Begitu pula sebaliknya. Misalnya saja, saya ini sekolah cuman sampai STM, sekarang saya bisa kerja mapan. Biarpun hanya jadi pemilik warung Ayam Bakar, toh saya bisa mencukupi kebutuhan keluarga saya.

Maaf, bukan maksud saya mombong, Mas. Menurut saya rejeki tiap orang memang berbeda. Asalkan kita mau berusaha pasti rejeki akan datang dengan sendirinya—meski tanpa diimbangi prestasi akademis yang melangit.’

‘Oh begitu… Lha kalo orangtua yang suka memarahi anak karena nilai raport yang jeblok, menurut Pakdhe gimana,baik apa nggak tradisi seperti itu?’

Pakdhe Raya meniupkan asap rokok dari mulutnya. ‘Kalo soal itu, saya punya ilustrasi cerita, Mas. Sampeyan mau dengar?’

‘Inggih nuh, Pakdhe. Gimana ceritanya?’

‘Ini, sambil ndengerin silakan nyambi makan kacang godhok kesukaan saya.’ Pakdhe Raya menyodorkan sepiring kacang godhok kesukaannya.

‘Jadi begini, pada suatu siang, Bu Guru membagikan hasil ulangan kepada siswa. Dari semua siswa, yang mendapat nilai jelek hanya dua anak. Sebut saja, mereka adalah Nakula dan Sadewa. Keduanya harus puas dengan nilai 50.

Sesampainya dirumah, baik Nakula maupun Sadewa memperlihatkan nilainya kepada Bapaknya. Apa yang terjadi?

Nakula langsung dimarahi dan dimaki habis-habisan sama Bapaknya. “kamu ini dirumah pasti kejaannya cuman main terus, ndak pernah belajar! Iya, to?! Nilai kok cuman 50!!! Bodoh dipelihara!!! Dasar GOBLOK!!!” begitu umpat Bapaknya.

Sedangkan Sadewa, dirumahnya, dia sama sekali ndak dimarahi sama Bapaknya. Bapaknya malah bilang begini, “Wah, dapet 50? Ndak pa-pa… lumayan. Bapak yakin kamu pasti bisa lebih baik dari ini. Belajar lagi, nggih?  Besok harus bisa dapat nilai yang lebih baik dari ini.”

Beberapa hari kemudian, kelas Nakula dan Sadewa kembali menghadapi ulangan. Setelah dibagikan, ternya Nakula dan Sadewa mengalami perubahan yang signifikan.

Nakula nilainya semakin turun, dia mendapat nilai 30. Sementara Sadewa malah meningkat, dari yang semula 50 naik menjadi 70. Perbedaan yang mencolok ini menunjukkan sikap para orangtua kita.

Kebanyakan dari mereka hanya bisa marah-marah dan ngatur-ngatur tanpa mau mencari solusinya. Mereka melupakan tiga hal yang sangat penting: mendidik, menasihati dan memotivasi anak.

Mereka mengira dengan marah semuanya akan tuntas. Padahal tidak. Marah itu ndak berguna, hanya buang-buang waktu dan akan membuat anak semakin down.

Dengan marah, bukannya memotivasi anak supaya berubah menjadi baik, tapi malah mengajarkan sang anak rasa penyesalan yang mendalam. Atau kalo dalam bahasa pacaran, anak muda sering menyebutnya: NDAK BISA MOVE ON.

Ah, andai saja semua orantua paham dengan semua itu…’

‘Iya, ya, Pakdhe… andai saja. Ya sudah, terima kasih Pakdhe atas penjelasannya. Saya seneng ndengerin Pakdhe bercerita, sampai-sampai …. Ehem … kacang godhoknya habis… hehehe.’

‘Hlah? Kacang godhokku ludes? Bocah sontoloyo! Kacang kesukaanku diembat semua…..!’

‘Hahaha… maaf, Pakdhe.’

(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)

Hayo, apa kamu masih suka diomelin ketika penerimaan raport?

(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)

Matur nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan kejujuran dan cuplikan angan

0 komentar:

Posting Komentar

Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!