“Rama, udah bawa obat-obatan?” teriak Mama dari sudut
ruang tengah.
“Udah Ma” jawabku tak acuh.
“Udah bawa selimut belum?” tanya Mama lagi. “Nanti
disana dingin lho, Rama. Nih Mama siapin selimut tebal dan obat sakit kepala.”
“Ah! Mama! Ngapain bawa begituan segala?! Nggak mau
ah!” Aku menggelengkan kepala.
“Eh, Mama nggak mau disana nanti kamu sakit, Sayang.”
Begitulah Mama. Sikap keibuannya yang terlalu
mencemaskan anaknya selalu berlebihan. Mama sangat khawatir seolah menganggap
aku akan camping selama seminggu dihutan Amazon, seorang diri. Padahal camping
yang diadakan sekolah hanya dua hari satu malam dan itupun serentak di ikuti
oleh seluruh siswa kelas sepuluh. Namun kebiasaan Mama tersebut tetap menyeruak
keluar. Selain nasihat cerewetnya yang sangat panjang, Mama juga ikut andil
dalam mengurusi segala kebutuhan untuk camping nanti. Bahkan Mama sampai
menelepon Dewa, teman sekelas, untuk mengabarinya jika telah terjadi sesuatu
denganku. Benar-benar berlebihan.
Hari yang ditentukan pun tiba. Kami semua berkumpul di
sekolah terlebih dahulu. Saat akan berangkat, setiap siswa berpamitan dengan
orangtuanya. Ada yang hanya bersalaman dengan kedua orangtuanya atau sekedar
melambaikan tangan. Semuanya biasa saja, kecuali Mama. Mama datang mendekatiku
lalu memelukku erat dan mencium pipiku. “Mama! Jangan di depan teman-teman, Ma!”
tukasku, malu.
Kontan saja, seluruh mata berpusat padaku. Ada yang
menertawai, menyindir dan tidak sedikit yang mengolok-olok aku. “Rama anak
mami…!” Ah! Semua gara-gara Mama!, gerutuku
dalam hati.
****
Ketika acara camping dimulai, sikap berlebihan Mama
kembali terulang. Kali ini Mama menggunakan media handphone. Berkali-kali Mama
mengirim sms atau menelepon aku. Menanyakan keadaan dan memberi nasihat yang
bermacam-macam. “Rama, gimana disana? Dingin kan?” kata Mama diseberang
telepon. “Jangan bobo malem-malem ya! Jaketnya dipakai.”
Karena merasa tak ingin diganggu atau lebih tepatnya
tak ingin kembali diejek “Anak Mami”, tanpa berpikir panjang , aku menonaktifkan
handphone. Dengan alasan supaya Mama tidak akan menelepon lagi.
Keesokan harinya, setelah sarapan seluruh siswa
diperbolehkan beristirahat dan menikmati segarnya udara pagi. Sejak semalam,
aku tidak lagi mendengar suara cerewet Mama. Ternyata metode menonaktifkan
handphone cukup berjalan sesuai rencana. Tanpa timbul keinginan untuk
menyalakan handphone, aku merasakan sejuknya pagi sembari menyusuri kebun
stroberi di kawasan camping.
Diujung jalan aku kaget melihat Afika sendirian memandangi
hamparan kebun stroberi. Afika adalah cewek primadona di sekolah yang sudah
lama menjadi incaranku. ini adalah
kesempatan emas, pikirku dalam hati. Tidak ada siapapun kecuali kami, tidak
akan ada gangguan. Terutama gangguan telepon dari Mama.
“Hai Afika..” sapaku, mendekati Afika. “Kok sendirian,
lagi ngapain disini?”
“Nggak kok, cuman lagi pengen nostalgia sama stroberi.”
Jawab Afika singkat.
“Nostalgia?” Aku heran, ada kenangan apa antara Afika
dengan Stroberi.
Kami berdua masih berdiri di depan puluhan buah
stroberi yang hampir masak. Afika terdiam tak bergerak. Kedua matanya sibuk
menembus gerbang imajinasi seputar stroberi. Samar-samar aku menyadari bahwa
selama ini Afika selalu memakai kalung dengan bandul berbentuk buah stroberi.
Mungkinkah itu sebuah pertanda?
“Iya, nostalgia.” Sesungging senyum terbit dari
bibirnya. “Buah stroberi mengingatkanku tentang kenangan seseorang yang begitu
dekat dihati.”
“Kenangan tentang kalung itu?” Aku memandangi sinis
kalung stroberi Afika.
“Benar, kalung ini.” Afika melepas kalungnya dan menimangnya
ditangan. “Pemberian dari seorang yang paling aku cinta didunia.”
Seketika itu juga, tubuhku menjadi sangat lemas. Kata
‘cinta’ yang diucapkan Afika begitu menusuk di hati. Tajam. Seolah bongkahan
batu menghantam diriku hingga hancur berkeping-keping. Sepertinya Afika sudah
punya pujaan dihatinya.
“Pemberian dari pacar kamu ya?” tanyaku, lesu.
“Bukan..” Afika menghela nafas. “Ini pemberian ibuku.
Aku kangen sama ibu..”
Aku terkejut. Ternyata kalung itu bukanlah pemberian
dari seorang cowok. Seseorang tercinta yang dimaksud Afika adalah ibunya. Tapi
aku tidak mengerti, mengapa kalung itu sangatlah penting hingga dia selalu
memakainya setiap hari. Padahal aku malah malu jika memakai jam tangan yang
dibelikan Mama. Perbedaan kontras yang terjadi diantara kami mengalir begitu
saja. Seolah semakin membanjiri ingatan Afika tentang ibunya, tanpa terasa
kedua mata Afika berkaca-kaca.
“Kenapa kamu nggak menelepon ibu kamu aja? Lalu
bilang, kalo kamu kangen beliau. Kamu bawa handphone, kan?”
“Andai semudah itu, Ram” Wajah Afika berubah jadi
murung. Gulungan mendung menutupi bening matanya hingga tak kuasa menahan air
mata. “Ibuku sudah pergi. Jauh sampai aku tak bisa menemuinya. Beliau meninggal
dunia saat aku masih kecil.” Tetes demi tetes, air mata Afika berjatuhan di
pipi.
“Maafin aku, Afika, aku bener-bener nggak tahu. Maaf”
kataku, karena sudah salah mengira.
“Nggak pa-pa, Ram.” Afika mengusap kedua matanya yang
basah. “Udah lama juga. Lagian aku selalu ngerasa deket dengan ibu setiap kali
memakai kalung ini.” Ucapnya, lembut tapi begitu bermakna.
Aku seperti disadarkan oleh penjelasan Afika. Selama
ini aku cukup dekat dengan Mama. Bahkan sangat dekat. Namun aku selalu berusaha
untuk membuat jarak dengan Mama. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakan
kesempatan Tuhan ini. Sedangkan orang-orang seperti Afika, tanpa meminta,
mereka telah dipisahkan dengan ibunya oleh alam yang berbeda. Seharusnya aku
mensyukuri karunia yang diberikan Tuhan. Aku nggak mau membuang waktu, selagi
masih bisa, aku pengen selalu berada di dekat Mama. Menikmati rasa sayang dari
Mama. Selamanya.
Seketika itu juga, aku merogoh kantong untuk mengambil
handphone dan lantas menyalakannya. Banyak sms dari Mama yang tertunda semenjak
semalam. Aku bergegas menekan tombol dan menelepon Mama.
“Halo, Ma. Ini aku.” Ucapku, lirih.
“Ya ampun Rama, kamu kemana aja kok Mama hubungi nggak
bisa? Mama khawatir sama kamu, Sayang!” nada bicara Mama meninggi.
“Iya, Ma.. Dari semalam handphonenya aku matiin, Ma.” Jawabku,
jujur.
“Oh iya. Mama kira kamu kenapa-napa. Syukurlah kamu
baik-baik saja. Ya udah, kamu balik camping lagi aja. Nanti sore telepon lagi.
Daa Sayang….”
“Ma, tunggu!” Aku berusaha mencegah Mama menutup
telepon.
“Iya?” sahut Mama.
“Emm, Rama minta maaf, Ma. Rama udah bikin Mama jadi
khawatir. Rama pengen ngomong..” Aku mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberanian
yang ada. Afika berdiri disampingku, mengamati dengan seksama. “Rama sayang
sama Mama.”
“Iya, Sayang” Terdengar suara terisak di seberang telepon.
“Mama juga sayang kamu … sangat sayang.. Ya sudah, cepet balik ke tenda gih.
Jangan sampai telat. Mama tutup ya..” Mama lalu menutup telepon.
Aku tersenyum malu-malu menghadap Afika. Mata Afika
kini kembali berkaca-kaca. “Tadi kamu habis telepon Mama ya?”
“Emm, iya. Kamu kan tahu, aku anak mami.” Jawabku
malu.
Afika mengulurkan tangannya. Menggenggam tanganku.“Banyak
cowok cemen yang ngaku berani berantem melawan preman. Tetapi jarang ada cowok gentle
yang punya nyali untuk mengatakan sayang kepada ibunya sendiri. Dan aku suka
sama cowok seperti kamu..”
“Ini artinya, kita?”
Afika mengangguk. Dan kita pun bergandengan tangan
menuju tenda.
****
1 komentar:
gives technical knowledge on current topics such as parliamentary information office
Posting Komentar
Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!