‘Aku ini apa buatmu?’
Saya rasa semua pasangan pernah menanyakan ini.
Walaupun pada dasarnya mereka tahu kalo mereka itu adalah pacar kita, tapi
entah kenapa mereka masih saja menanyakannya.
Seperti ingin mencari pengakuan yang lebih dalam. Atau
pengen punya satu kepastian sebelum melanjutkan hubungan ke jenjang lebih tenanan. Atau barangkali cuma sekedar nanya
doang.
Apapun itu, yang pasti pertanyaan di atas ketika
ditodongkan ke saya, mau tak mau memaksa saya harus berpikir keras. Sebab saya
tahu, perempuan yang bertanya hal-hal seperti itu nggak mau menerima jawaban
yang sederhana.
Ia masih menunggu. Mulut saya mengatup rapat. Saking
rapatnya bahkan sampai nggak ada kata-kata yang mampu melompat lewat.
Tapi otak saya tidak diam. Ia sibuk mondar-mandir.
Mencoba memaksimalkan daya fungsinya. Berpikir.
Dan sesuatu muncul di benak saya…
Sebuah rumah. Rumah yang akrab. Nyaman, tenang dan
berfasilitas lengkap. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun tinggal disitu.
Seperti menempati rumah sendiri. Dan ya, disitu memang hanya ada saya sendiri.
Dalam bayangan saya, saat itu tidak ada matahari.
Gelap. Malam hari. Bulan terlihat tersiksa dijajah oleh awan mendung. Suasana
begitu sunyi. Dingin.
Saya meringkuk dibawah selimut. Terlelap setelah
seharian tanpa ada teman. Lagi asik tidur, kok rasanya kayak ada yang aneh.
Perasaan saya mulai nggak enak. Ah, ada apa ini?
Tiba-tiba…
Krusekk-krusekk. Ada suara berisik di dapur. Saya
membuka mata, masih kerubutan selimut. Rasa penasaran mengusik hati saya. Tapi
jantung saya berdegup kencang. Intuisi mengatakan supaya saya tetap tinggal di
kamar.
Baiklah, saya menahan diri disini. Berdebar-debar di
dalam kamar. Namun suara berisik itu malah kian menjadi-jadi. Saya nggak mau
bohong, jujur saja, saya merasa takut. Kenyataan bahwa saya dirumah sendirian
membuat saya ragu ketika ingin berteriak minta pertolongan.
Mau minta tolong sama siapa?
Tidak ada siapa-siapa selain saya dan dia entah siapa
si pembuat suara itu. Dia… atau mereka. Eh, saya kan nggak tahu si pembuat
suara itu sendirian atau bersama beberapa kawan.
Suara yang tadinya di dapur, kini mendekat. Sepertinya
dia sudah di ruang tengah. Sepertinya saya sedang terancam!
Meski takut, saya membuka selimut. Mata saya
berkeliling menyusuri keadaan sekitar. Di dekat meja belajar, tepat disamping
pintu kamar, ada tongkat. Saya nggak tahu kenapa ada tongkat disitu, tapi
disitu ada tongkat.
Tongkat yang panjangnya sekitar satu meter dan lebar
sekepal tangan, yang cukup menyakitkan jika dilibaskan dengan sekali cambukan.
Bunyi berisik itu semakin keras terdengar.
Jangan-jangan itu maling, atau perampok, atau malah pembunuh. Aduh!
Saya memutar otak. Menimbang-nimbang. Pilih disini, di
dalam kamar, menunggu dia / mereka masuk… atau keluar, bawa tongkat dan siap
menghajar?
Saya nggak punya banyak waktu untuk terjebak dilema.
Kalo pun ia / mereka adalah pembunuh, berada dikamar atau mencoba keluar adalah
dua pilihan yang punya resiko sama. Tapi kalo saya keluar dan seandainya saya
menang dalam aksi saling hajar, mungkin dia / mereka lah yang akan gentar.
Dan saya memilih pilihan kedua. Saya ambil tongkat,
membuka pintu, dengan segala sisa keberanian, saya memilih meresikokan diri
dengan apapun yang ada disana nanti.
‘Hei, kenapa malah diem? Kamu nggak mau jawab?’
tanyanya seketika yang membuat saya kaget. Menyadarkan saya dari lamunan.
‘Aku ini apa buatmu?’
‘Tongkat!’ Reflek, mulut saya menjawab.
‘Hah?’
‘Iya, kamu tongkat. Bagi saya, kamu adalah tongkat
saya.’
Parasnya menunjukkan kebingungan. ‘Kenapa … tongkat?’
‘Kamulah tongkat. Satu-satunya senjata yang saya
punya. Senjata yang memberi saya tiga hal sekaligus. Optimisme, keberanian dan
rasa aman. Adanya kamu di dekat saya, saya merasakan ketiga hal itu semua.
Kamu tongkat yang memberi saya rasa percaya diri untuk
keluar kamar, menghadirkan keberanian untuk melawan rasa takut dan menyediakan
rasa aman dalam keadaan terancam.
Kamu adalah tongkat saya untuk menghadapi dunia
beserta segala suara berisik di dalamnya. Itu artimu buat saya.’
Perempuan itu membalas dengan tersenyum. Cantik
sekali.
‘Kalo aku adalah tongkat buat kamu’ Ia berujar
sesuatu. ‘Tahu nggak, kamu ibarat apa buat aku?’
Ciyee. Muncul sebuncah semangat dalam diri saya ketika
mendengarnya menanya begitu. ‘Apa? Tongkat juga ya?’
Lah, dia malah cekikikan. ‘Bukan. Kamu itu Tom Cat! Wlekk!’
‘ … ‘
(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)
Matur nuwun sudah kersa pinarak
ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan
kejujuran dan cuplikan angan
0 komentar:
Posting Komentar
Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!