Pages

Minggu, 24 Agustus 2014

Tongkat






‘Aku ini apa buatmu?’

Saya rasa semua pasangan pernah menanyakan ini. Walaupun pada dasarnya mereka tahu kalo mereka itu adalah pacar kita, tapi entah kenapa mereka masih saja menanyakannya.

Seperti ingin mencari pengakuan yang lebih dalam. Atau pengen punya satu kepastian sebelum melanjutkan hubungan ke jenjang lebih tenanan. Atau barangkali cuma sekedar nanya doang.

Apapun itu, yang pasti pertanyaan di atas ketika ditodongkan ke saya, mau tak mau memaksa saya harus berpikir keras. Sebab saya tahu, perempuan yang bertanya hal-hal seperti itu nggak mau menerima jawaban yang sederhana.

Ia masih menunggu. Mulut saya mengatup rapat. Saking rapatnya bahkan sampai nggak ada kata-kata yang mampu melompat lewat.

Tapi otak saya tidak diam. Ia sibuk mondar-mandir. Mencoba memaksimalkan daya fungsinya. Berpikir.

Dan sesuatu muncul di benak saya…

Sebuah rumah. Rumah yang akrab. Nyaman, tenang dan berfasilitas lengkap. Rasanya seperti sudah bertahun-tahun tinggal disitu. Seperti menempati rumah sendiri. Dan ya, disitu memang hanya ada saya sendiri.

Dalam bayangan saya, saat itu tidak ada matahari. Gelap. Malam hari. Bulan terlihat tersiksa dijajah oleh awan mendung. Suasana begitu sunyi. Dingin.

Saya meringkuk dibawah selimut. Terlelap setelah seharian tanpa ada teman. Lagi asik tidur, kok rasanya kayak ada yang aneh. Perasaan saya mulai nggak enak. Ah, ada apa ini?

Tiba-tiba…

Krusekk-krusekk. Ada suara berisik di dapur. Saya membuka mata, masih kerubutan selimut. Rasa penasaran mengusik hati saya. Tapi jantung saya berdegup kencang. Intuisi mengatakan supaya saya tetap tinggal di kamar.

Baiklah, saya menahan diri disini. Berdebar-debar di dalam kamar. Namun suara berisik itu malah kian menjadi-jadi. Saya nggak mau bohong, jujur saja, saya merasa takut. Kenyataan bahwa saya dirumah sendirian membuat saya ragu ketika ingin berteriak minta pertolongan.

Mau minta tolong sama siapa?
Tidak ada siapa-siapa selain saya dan dia entah siapa si pembuat suara itu. Dia… atau mereka. Eh, saya kan nggak tahu si pembuat suara itu sendirian atau bersama beberapa kawan.

Suara yang tadinya di dapur, kini mendekat. Sepertinya dia sudah di ruang tengah. Sepertinya saya sedang terancam!

Meski takut, saya membuka selimut. Mata saya berkeliling menyusuri keadaan sekitar. Di dekat meja belajar, tepat disamping pintu kamar, ada tongkat. Saya nggak tahu kenapa ada tongkat disitu, tapi disitu ada tongkat.

Tongkat yang panjangnya sekitar satu meter dan lebar sekepal tangan, yang cukup menyakitkan jika dilibaskan dengan sekali cambukan.

Bunyi berisik itu semakin keras terdengar. Jangan-jangan itu maling, atau perampok, atau malah pembunuh. Aduh!

Saya memutar otak. Menimbang-nimbang. Pilih disini, di dalam kamar, menunggu dia / mereka masuk… atau keluar, bawa tongkat dan siap menghajar?

Saya nggak punya banyak waktu untuk terjebak dilema. Kalo pun ia / mereka adalah pembunuh, berada dikamar atau mencoba keluar adalah dua pilihan yang punya resiko sama. Tapi kalo saya keluar dan seandainya saya menang dalam aksi saling hajar, mungkin dia / mereka lah yang akan gentar.

Dan saya memilih pilihan kedua. Saya ambil tongkat, membuka pintu, dengan segala sisa keberanian, saya memilih meresikokan diri dengan apapun yang ada disana nanti.

‘Hei, kenapa malah diem? Kamu nggak mau jawab?’ tanyanya seketika yang membuat saya kaget. Menyadarkan saya dari lamunan.

‘Aku ini apa buatmu?’

‘Tongkat!’ Reflek, mulut saya menjawab.

‘Hah?’

‘Iya, kamu tongkat. Bagi saya, kamu adalah tongkat saya.’

Parasnya menunjukkan kebingungan. ‘Kenapa … tongkat?’

‘Kamulah tongkat. Satu-satunya senjata yang saya punya. Senjata yang memberi saya tiga hal sekaligus. Optimisme, keberanian dan rasa aman. Adanya kamu di dekat saya, saya merasakan ketiga hal itu semua.

Kamu tongkat yang memberi saya rasa percaya diri untuk keluar kamar, menghadirkan keberanian untuk melawan rasa takut dan menyediakan rasa aman dalam keadaan terancam.

Kamu adalah tongkat saya untuk menghadapi dunia beserta segala suara berisik di dalamnya. Itu artimu buat saya.’

Perempuan itu membalas dengan tersenyum. Cantik sekali.

‘Kalo aku adalah tongkat buat kamu’ Ia berujar sesuatu. ‘Tahu nggak, kamu ibarat apa buat aku?’

Ciyee. Muncul sebuncah semangat dalam diri saya ketika mendengarnya menanya begitu. ‘Apa? Tongkat juga ya?’

Lah, dia malah cekikikan. ‘Bukan. Kamu itu Tom Cat! Wlekk!’

‘ … ‘



(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)

Matur nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan kejujuran dan cuplikan angan

0 komentar:

Posting Komentar

Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!