Pages

Sabtu, 22 Desember 2012

Embun Berdaun




Pernah saya mengalami jatuh hati dengan seorang perempuan. Perempuan jelita yang memiliki kumis tipis—lebih tipis dari kumis Iis Dahlia. Belakangan, ia menjadi satu-satunya perempuan yang paling dekat dengan saya.

Entah karena dia memang berperangai rupawan atau karena belum ada perempuan lain yang menjadi saingan, sampai saat ini, bersamanya saya selalu merasa nyaman.

Saya mulai menyukainya semenjak sisa siang yang kami habiskan berdua … hanya dengan berbicara. Obrolan yang mengalir tanpa hambatan dari membahas hari-hari di sekolah sampai beradu mulut tentang senja dan hujan. Semakin hari, ia makin memesona. Semakin hari pula, perasaan saya kian menggelora.

Namun, tak ada akibat kalau tak ditemui suatu sebab. Saya baru saja merasakan efeknya. Dia membuat saya sadar, bahwa kejujuran cepat atau lambat akan memberikan kita dua dampak. Kalau bukan kebahagiaan … yaa penderitaan. Dia membuat saya paham, bahwa kejujuran setolol apapun tetap lebih berharga ketimbang kebohongan yang pintar. Dan dia pula yang membangunkan saya dari nyamannya kebodohan, bahwa jika kita terlalu lama memendam cinta—tanpa ada keberanian untuk mengungkapkan, sedikit saja kita terlena, maka kita harus bersiap merasa … kehilangan. Cinta itu akan sia-sia.

(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)

‘Jadi, sore ini, saya rasa kamu nggak akan membiarkan es batu yang berenang di kolam Caramel Macchiato itu terpaksa mencair, karena terlampau lama menanti sesuatu yang akan kamu bicarakan, yaitu … tentang?’ Berbasa-basi, saya meluluhlantahkan tembok hening cipta yang menyekat kami.

‘Solusinya mudah. Tinggal pesen lagi aja sama pelayan yang sedari tadi melirikku itu, beres, kan?’ Senyumnya mengembang. ‘Es batumu yang mencair, bisa tergantikan..’

‘Oh, jadi begitu. Kamu mengajak saya ke kafe ini hanya untuk bicara mengenai es batu?’

Kamu dan saya serentak tertawa. Entah menertawai apa. Itu tak lagi penting. Yang terpenting adalah… kita berdua tertawa.

Semalam, ia mengajak saya untuk bertatap muka di tempat ini, kedai kopi yang telah menjadi langganan kami selama berbulan-bulan—sebenarnya sih, baru dua bulan. Katanya, ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan. Dari antusias romannya, sepertinya terdengar menarik. Saya tak kuasa mengelak. Seutuh diri saya tertawan oleh rasa penasaran.

Di depan segelas Ice Caramel Macchiato dan secangkir Hot Kafe Latte, ia menggeleng. ‘Bukan… kabar ini lebih fenomenal dari sekedar es batu, yang namanya aja es batu, tapi bentuknya malah menyerupai polar. ‘

‘Apa perlu saya carikan segelas air es yang berisi batu supaya kamu stop ngoceh tentang es batu? Buruan cerita dong. Tega ya kamu, 30 detik lagi kamu nggak bilang-bilang, saya mati penasaran nanti!’

‘Iye.. iye.. bawel lu!’ Gerutu perempuan berkumis tipis itu. ‘Tau gak, kamu inget kan sama lelaki penulis puisi yang lagi ndeketin aku? Itu lho, yang pernah aku ceritain kalo dia pernah ngajak aku Blind Date di rumahnya Afita. Kemarin dia nembak aku loh!’ Paras itu menyala layaknya bunga kamboja, tanda jika ia tengah terperangkap asmara.

Satu detik.. dua detik.. tiga detik..
Saya melongo hingga lupa memberi respon.

‘Nyet, kok diem?’

Monyet! Harusnya saya yang ngatain kamu MONYET!!!! Saya yang selama ini nemenin kamu! Saya sayaaaang kamu! Bukan dia! Eh, tapi… kamu nggak menjawab ‘Ya’ ke dia, kan? Saya menjerit-jerit dalam hati.

‘Emmh, selamat, ya! Sekarang rasa sepi kamu udah ada yang mengobati. Jaminan malam minggu pun udah ada yang mengantisipasi. Kurang apa lagi? Kamu nggak perlu asuransi.’ Munafik. Meski kata-kata itu telah terucap, saya masih mengharap ia akan berkata ‘Tidak..’.

Sial. Ia malah mengangguk. ‘Makasih, ya..’

Kamu … jadian … sama … dia? Terbata-bata, batin ini mulai terusik.

Jika umumnya orang sakit hati malas membicarakan cinta, kali ini saya mencoba kebalikkannya. Saya membenahi posisi duduk dan mencondongkan tubuh ke depan. Saya ingin mendengarkan lebih jelas deskripsi ceritanya. Ingin menikmati siksa sekaligus merasa menderita. Seperti kopi yang baru saja saya teguk, terasa nikmat walau menyisakan pahit.

‘Pagi-pagi buta, ia mengajakku ke belakang kompleks perumahan. Disana dia ngungkapin perasaannya lewat sebuah puisi. Kami duduk berhadapan. Ia menggenggam tanganku, nggak terlalu erat sih, karena dia pengen kami seiring—bukan digiring. Mata kami saling bertemu. Bersamaan dengan itu, ia mengucap I LOVE YOU…’

JLEB! Telak! Saya hanya sanggup tersenyum.

‘Usai mengucap larik-larik puisi, batang hidungnya mendekat … mendekat … dan mendekat … menempel mengenai pipiku. Aku spechless. Itu tuh so swit tingkat dewa—lebih tinggi dari langit maupun bintang. Dia mengecup pipiku. Kemudian berbisik merdu di telingaku, dia bilang, bahwa dia nggak akan menukar pagi romantis kami dengan apapun ... dengan siapapun … sampai kapanpun..’

Cadas! Tajam! Tapi saya masih menahan senyum.

‘Karena momen indah itu terjadi di pagi hari, kami sepakat menggunakan benda-benda disekitar sebagai panggilan sayang sekaligus alarm pengingat kalau-kalau Tuhan menyisipkan amnesia di otakku. Sebab mungkin hanya amnesia yang membuatku lupa kepada genggamannya … tatapannya … puisi-puisinya … kecupannya … segalanya.’ Kedua mata itu menerawang seolah ada drama teater yang mengkisahkan kembali momen paginya di kepala. ‘Aku memanggilnya “Daun” dan dia memanggilku “Embun”. Serasi, kan?’

Saya tak mengumpat. Tapi ada gelak tawa yang menggelegar disana. Tepat di hati saya. Menertawai tabungan kenangan yang saya lewati bersamanya, mencemooh segenab perasaan yang saya simpan rapi di bilik hati saya, dan mencibir harapan dan mimpi yang ingin kami capai bersama … pada suatu masa.

Semua itu, menguap seperti embun pada daun yang tertimpa sinar mentari.


Sluuuurp! Saya menenggak kopi ini seraya berharap pedih ini juga akan ikut sirna. Kini es-es itu mencair dan menambah volume kopi saya. Kopi yang tadi nikmat menyisa pahit, kini berubah menjadi … hambar. Senyum saya pun perlahan memudar.

‘Kamu ndengerin aku gak, sih? Tumben kamu jadi pendiem.’ Perempuan itu mengamati saya, lekat—tanpa dosa. ‘Oh, aku ngerti. Kamu diem karena … laper, yaa?’

Ah, andai kamu bisa mendengar hati ini berkata. Saya sama sekali nggak lapar. Saya kenyang. Kenyang oleh celoteh momen pagi busukmu itu. Saking kenyangnya, saya mual, bahkan nyaris muntah. Tolong ya, cukup sekian saja. Saya mohon…

‘Nggak kok, saya cuman lagi bingung. Kamu udah ada yang memiliki. Wow. Itu artinya intensitas durasi obrol kita bakal kayak Bensin Premium. Makin menyurut, lalu menyusut, lama-lama habis. Saya masih boleh ketemu dan ngobrol sama kamu, kan?’

‘Tapi, sebelumnya kamu musti ijin sama si Daun dulu..’

‘Kan saya pengen ketemu kamu, bukan ketemu si Shaun sang domba itu..’

‘Daun, bukan Shaun!’ Protesnya, judes.

‘Iya … maksudku itu ..’

Lalu timbul jeda panjang di antara kami. Jeda yang menjemukan. Membuat jengah. Mungkin ia tak lagi tahan dengan situasi canggung ini dan memutuskan untuk berdiri, beranjak pergi.

‘Aku duluan ya..’ Ia pamit pulang. Saya mengangguk.

Baru dua langkah menjauh, ia berhenti. Membalikkan badan dan menoleh ke arah saya. ‘Kamu juga seneng kan, denger kabar baik ini?’

Saya menunjukkan senyum senyata mungkin. ‘Tentu saja …’ Balas saya, singkat.

Ia juga tersenyum, lalu melengang pergi.

Satu per satu saya memandangi langkah yang menyeretnya menjauh. Baik menjauh dari tempat saya berada maupun menjauh dari hati saya. Lamat-lamat, seiring dengan bayangnya yang melenyap di balik pintu, saya mengulangi jawaban saya yang belum lengkap untuk pertanyaan terakhirnya…

‘Kamu juga seneng kan, denger kabar baik ini?’

‘Tentu saja … TIDAK!’

(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)

Matur nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan kejujuran dan cuplikan angan



0 komentar:

Posting Komentar

Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!