Pernah saya mengalami jatuh hati
dengan seorang perempuan. Perempuan jelita yang memiliki kumis tipis—lebih
tipis dari kumis Iis Dahlia. Belakangan, ia menjadi satu-satunya perempuan yang
paling dekat dengan saya.
Entah karena dia memang
berperangai rupawan atau karena belum ada perempuan lain yang menjadi saingan,
sampai saat ini, bersamanya saya selalu merasa nyaman.
Saya mulai menyukainya semenjak
sisa siang yang kami habiskan berdua … hanya dengan berbicara. Obrolan yang
mengalir tanpa hambatan dari membahas hari-hari di sekolah sampai beradu mulut
tentang senja dan hujan. Semakin hari, ia makin memesona. Semakin hari pula,
perasaan saya kian menggelora.
Namun, tak ada akibat kalau tak
ditemui suatu sebab. Saya baru saja merasakan efeknya. Dia membuat saya sadar,
bahwa kejujuran cepat atau lambat akan memberikan kita dua dampak. Kalau bukan
kebahagiaan … yaa penderitaan. Dia membuat saya paham, bahwa kejujuran setolol
apapun tetap lebih berharga ketimbang kebohongan yang pintar. Dan dia pula yang
membangunkan saya dari nyamannya kebodohan, bahwa jika kita terlalu lama
memendam cinta—tanpa ada keberanian untuk mengungkapkan, sedikit saja kita
terlena, maka kita harus bersiap merasa … kehilangan. Cinta itu akan sia-sia.
(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)
‘Jadi, sore ini, saya rasa kamu
nggak akan membiarkan es batu yang berenang di kolam Caramel Macchiato itu terpaksa mencair, karena terlampau lama
menanti sesuatu yang akan kamu bicarakan, yaitu … tentang?’ Berbasa-basi, saya
meluluhlantahkan tembok hening cipta yang menyekat kami.
‘Solusinya mudah. Tinggal pesen
lagi aja sama pelayan yang sedari tadi melirikku itu, beres, kan?’ Senyumnya
mengembang. ‘Es batumu yang mencair, bisa tergantikan..’
‘Oh, jadi begitu. Kamu mengajak
saya ke kafe ini hanya untuk bicara mengenai es batu?’
Kamu dan saya serentak tertawa. Entah menertawai apa. Itu tak lagi
penting. Yang terpenting adalah… kita berdua tertawa.
Semalam, ia mengajak saya untuk
bertatap muka di tempat ini, kedai kopi yang telah menjadi langganan kami
selama berbulan-bulan—sebenarnya sih, baru dua bulan. Katanya, ada sesuatu yang
ingin ia tunjukkan. Dari antusias romannya, sepertinya terdengar menarik. Saya
tak kuasa mengelak. Seutuh diri saya tertawan oleh rasa penasaran.
Di depan segelas Ice Caramel Macchiato dan secangkir Hot Kafe Latte, ia menggeleng. ‘Bukan…
kabar ini lebih fenomenal dari sekedar es batu, yang namanya aja es batu, tapi
bentuknya malah menyerupai polar. ‘
‘Apa perlu saya carikan segelas
air es yang berisi batu supaya kamu stop ngoceh tentang es batu? Buruan cerita
dong. Tega ya kamu, 30 detik lagi kamu nggak bilang-bilang, saya mati penasaran
nanti!’
‘Iye.. iye.. bawel lu!’ Gerutu
perempuan berkumis tipis itu. ‘Tau gak, kamu inget kan sama lelaki penulis
puisi yang lagi ndeketin aku? Itu lho, yang pernah aku ceritain kalo dia pernah
ngajak aku Blind Date di rumahnya
Afita. Kemarin dia nembak aku loh!’ Paras itu menyala layaknya bunga kamboja,
tanda jika ia tengah terperangkap asmara.
Satu detik.. dua detik.. tiga
detik..
Saya melongo hingga lupa memberi
respon.
‘Nyet, kok diem?’
Monyet! Harusnya saya yang ngatain kamu MONYET!!!! Saya yang selama ini
nemenin kamu! Saya sayaaaang kamu! Bukan dia! Eh, tapi… kamu nggak menjawab
‘Ya’ ke dia, kan? Saya menjerit-jerit dalam hati.
‘Emmh, selamat, ya! Sekarang
rasa sepi kamu udah ada yang mengobati. Jaminan malam minggu pun udah ada yang
mengantisipasi. Kurang apa lagi? Kamu nggak perlu asuransi.’ Munafik. Meski
kata-kata itu telah terucap, saya masih mengharap ia akan berkata ‘Tidak..’.
Sial. Ia malah mengangguk.
‘Makasih, ya..’
Kamu … jadian … sama … dia? Terbata-bata, batin ini mulai terusik.
Jika umumnya orang sakit hati
malas membicarakan cinta, kali ini saya mencoba kebalikkannya. Saya membenahi
posisi duduk dan mencondongkan tubuh ke depan. Saya ingin mendengarkan lebih
jelas deskripsi ceritanya. Ingin menikmati siksa sekaligus merasa menderita.
Seperti kopi yang baru saja saya teguk, terasa nikmat walau menyisakan pahit.
‘Pagi-pagi buta, ia mengajakku
ke belakang kompleks perumahan. Disana dia ngungkapin perasaannya lewat sebuah
puisi. Kami duduk berhadapan. Ia menggenggam tanganku, nggak terlalu erat sih,
karena dia pengen kami seiring—bukan digiring. Mata kami saling bertemu.
Bersamaan dengan itu, ia mengucap I LOVE YOU…’
JLEB! Telak! Saya hanya sanggup
tersenyum.
‘Usai mengucap larik-larik
puisi, batang hidungnya mendekat … mendekat … dan mendekat … menempel mengenai
pipiku. Aku spechless. Itu tuh so
swit tingkat dewa—lebih tinggi dari langit maupun bintang. Dia mengecup pipiku.
Kemudian berbisik merdu di telingaku, dia bilang, bahwa dia nggak akan menukar
pagi romantis kami dengan apapun ... dengan siapapun … sampai kapanpun..’
Cadas! Tajam! Tapi saya masih
menahan senyum.
‘Karena momen indah itu terjadi
di pagi hari, kami sepakat menggunakan benda-benda disekitar sebagai panggilan
sayang sekaligus alarm pengingat kalau-kalau Tuhan menyisipkan amnesia di
otakku. Sebab mungkin hanya amnesia yang membuatku lupa kepada genggamannya …
tatapannya … puisi-puisinya … kecupannya … segalanya.’ Kedua mata itu
menerawang seolah ada drama teater yang mengkisahkan kembali momen paginya di
kepala. ‘Aku memanggilnya “Daun” dan dia memanggilku “Embun”. Serasi, kan?’
Saya tak mengumpat. Tapi ada
gelak tawa yang menggelegar disana. Tepat di hati saya. Menertawai tabungan
kenangan yang saya lewati bersamanya, mencemooh segenab perasaan yang saya
simpan rapi di bilik hati saya, dan mencibir harapan dan mimpi yang ingin kami
capai bersama … pada suatu masa.
Semua itu, menguap seperti embun
pada daun yang tertimpa sinar mentari.
Sluuuurp! Saya menenggak kopi
ini seraya berharap pedih ini juga akan ikut sirna. Kini es-es itu mencair dan
menambah volume kopi saya. Kopi yang tadi nikmat menyisa pahit, kini berubah
menjadi … hambar. Senyum saya pun perlahan memudar.
‘Kamu ndengerin aku gak, sih?
Tumben kamu jadi pendiem.’ Perempuan itu mengamati saya, lekat—tanpa dosa. ‘Oh,
aku ngerti. Kamu diem karena … laper, yaa?’
Ah, andai kamu bisa mendengar hati ini berkata. Saya sama sekali nggak
lapar. Saya kenyang. Kenyang oleh celoteh momen pagi busukmu itu. Saking
kenyangnya, saya mual, bahkan nyaris muntah. Tolong ya, cukup sekian saja. Saya
mohon…
‘Nggak kok, saya cuman lagi
bingung. Kamu udah ada yang memiliki. Wow. Itu artinya intensitas durasi obrol
kita bakal kayak Bensin Premium. Makin menyurut, lalu menyusut, lama-lama
habis. Saya masih boleh ketemu dan ngobrol sama kamu, kan?’
‘Tapi, sebelumnya kamu musti
ijin sama si Daun dulu..’
‘Kan saya pengen ketemu kamu,
bukan ketemu si Shaun sang domba itu..’
‘Daun, bukan Shaun!’ Protesnya,
judes.
‘Iya … maksudku itu ..’
Lalu timbul jeda panjang di
antara kami. Jeda yang menjemukan. Membuat jengah. Mungkin ia tak lagi tahan
dengan situasi canggung ini dan memutuskan untuk berdiri, beranjak pergi.
‘Aku duluan ya..’ Ia pamit
pulang. Saya mengangguk.
Baru dua langkah menjauh, ia
berhenti. Membalikkan badan dan menoleh ke arah saya. ‘Kamu juga seneng kan,
denger kabar baik ini?’
Saya menunjukkan senyum senyata
mungkin. ‘Tentu saja …’ Balas saya, singkat.
Ia juga tersenyum, lalu
melengang pergi.
Satu per satu saya memandangi
langkah yang menyeretnya menjauh. Baik menjauh dari tempat saya berada maupun
menjauh dari hati saya. Lamat-lamat, seiring dengan bayangnya yang melenyap di
balik pintu, saya mengulangi jawaban saya yang belum lengkap untuk pertanyaan
terakhirnya…
‘Kamu juga seneng kan, denger
kabar baik ini?’
‘Tentu saja … TIDAK!’
(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)
Matur
nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan
kejujuran dan cuplikan angan
0 komentar:
Posting Komentar
Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!