Pages

Minggu, 09 Desember 2012

Bukan Mencintai tapi Membencitai


 

Kepada Puan Malam
Di suatu tempat—entah dimana

Puan, andai kamu disini pasti saat ini kamu telah melepas headset itu, meletakkan jauh-jauh ponsel itu, menyingkirkan nyaris segala hal yang berpeluang menjadi simbiosis parasitisme dan benar-benar menyiapkan telinga untuk mendengarkan saya bicara.

Tentu seluruh atensimu akan kamu sumbangkan ke cerita-ceritaku, kecuali, barangkali hanya potongan dedaunan itu yang masih giat menyibukkan jemarimu.

Puan, saya benci dia.
Dia—perempuan realita yang mengaku menggemari lumba-lumba lumpia. Saya tahu, Puan. Awalnya saya juga tak mau membencinya. Kamu pernah bilang, kebencian itu mengacaukan. Kebencian itu seperti mikroskop. Melihat sesuatu yang kecil kemudian dibesar-besarkan hingga menjadi sesuatu yang gigantis sekaligus mengerikan. 


Tapi Puan, rasa benci ini bagaikan kuku jari. Tetap tumbuh, bertambah ukuran, meski telah berulang kali dipatahkan. Ah, rupanya tak hanya sampah anorganik saja, suatu kebencian pun juga bisa di daur ulang.

Saya benci dia, Puan.
Saya benci jika dia membaca ini—saya ragu ia akan menyempatkan barang sedetik untuk membaca ini—dia tahu kalo surat ini bertema tentang dia. Saya benci dia tak merasa mendapatkan maupun kehilangan setelahnya. Saya benci dia tahu bahwa rasa ini belum mau padam dan masih menyala sampai sekarang. Bersinar terang ke arahnya.

Saya benci karena cukup bodoh untuk tidak mengetahui apa-apa yang selama ini ia sembunyikan. Saya benci tak sanggup berhenti mencegah menerjemahkan isyarat-isyarat tersamarnya. Isyarat yang ia beri lantas saya artikan dengan penuh percaya diri. Seperti saat jemari kami bersentuhan di ruangan gelap berAC di depan layar raksasa, dimana saya bisa merasakan getar nadi kami yang berdenyut seirama. Ketika itu, dalam hati saya bertanya-tanya. Apa ini sebuah tanda? Apa sentuhan itu ia lakukan secara tak sengaja? Ataukah ini semata-mata bukan apa-apa?

Saya benci merasa canggung mengajaknya mengobrol di kelas. Merasa tak nyaman berada diantara tatap-tatap mata yang mengamati kami berdua. Kemudian mendadak saya berubah menjadi diam dan pembicaraan kami tiba-tiba terasa menjengahkan. Saya ingin kami menjadi alien. Makhluk asing yang mengendarai UFO. Supaya tak ada yang mencampuri urusan kami. Dan kami bebas menikmati dunia yang hanya kami yang mengerti. Dunia kami sendiri.

Saya benci dia sering kali bersikap realistis. Fans fanatik istilah ‘Kongkret’ dan ‘Idzar’. Seperti kebiasaannya mengedepankan asas logika ketika saya sedang ingin membahas tentang hati. Ilmu mana yang mampu menyatukan logika dengan hati, coba? Keduanya layaknya Syahrini dan Ashanti, kecil kemungkinan dapat berjalan beriringan menuju satu tujuan.

Saya benci tak menemui rasa malas dalam menciptakan rencana demi rencana yang ingin saya capai bersamanya. Sesuatu yang saya sebut: menembus batas. Sesuatu yang mungkin bagi orang lain terkesan aneh, menyimpang dan memalukan. Tapi saya tak ambil pusing seraya menggenggam tangannya lalu berteriak bersama, ‘Persetan dengan kalian !’

Saya benci merasa cukup hanya dengan dia. Dia itu ‘se’ bagi saya. Adjektiva yang berawalan ‘se’ adalah satu. Tunggal, bukan ganda—apalagi jamak. Namun sayang, saya benci menyadari bahwa sepertinya saya bukan ‘se’ baginya. Hati manusia itu seperti pecahan puzzle. Setiap dari kita akan mencari pecahan puzzle yang hilang. Dan dia tak lagi berupa pecahan—dia telah lengkap. Dia telah mempunyai seseorang yang mengutuhkan hatinya. Seorang lelaki. Lelakinya.

Damn.. I hate it..

Puan, koleksi benci-benci ini tak saya ketahui kapan akan kehabisan stock. Saya benci memikirkan dia saat malam-malam seperti ini. Sialnya, saya tak mengerti siapa yang malam ini melintas di benaknya. Mungkinkah saya? Ah, sudah pasti lelakinya.

Jika memang demikian, saya hanya mampu mengulang kata-katamu tempo hari lalu, Puan.

‘Puan, apa dia benar-benar mencintai lelakinya?’ Dalam keraguan saya mencoba memperjelas pertanyaan. ‘Apa hatinya sudah tak ada lagi celah?’

Kamu malah tersenyum. Cengengesan. Menggeleng-gelengkan kepala kemudian tertawa pelan. Di ujung tawa itu, kamu menjawab…

‘Barusan, pertanyaanmu itu adalah retorik, bukan?’

Saya pun terdiam. Lama.
Berjuang memahami kata-kata Puan.
Retorik? Ah, dasar puan !



(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)

Matur nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan kejujuran dan cuplikan angan

0 komentar:

Posting Komentar

Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!