Kepada Puan Malam
Di suatu tempat—entah dimana
Puan, andai
kamu disini pasti saat ini kamu telah melepas headset itu, meletakkan jauh-jauh
ponsel itu, menyingkirkan nyaris segala hal yang berpeluang menjadi simbiosis parasitisme
dan benar-benar menyiapkan telinga untuk mendengarkan saya bicara.
Tentu seluruh
atensimu akan kamu sumbangkan ke cerita-ceritaku, kecuali, barangkali hanya
potongan dedaunan itu yang masih giat menyibukkan jemarimu.
Puan, saya
benci dia.
Dia—perempuan
realita yang mengaku menggemari lumba-lumba lumpia. Saya tahu, Puan.
Awalnya saya juga tak mau membencinya. Kamu pernah bilang, kebencian itu
mengacaukan. Kebencian itu seperti mikroskop. Melihat sesuatu yang kecil
kemudian dibesar-besarkan hingga menjadi sesuatu yang gigantis sekaligus
mengerikan.
Tapi Puan,
rasa benci ini bagaikan kuku jari. Tetap tumbuh, bertambah ukuran, meski telah
berulang kali dipatahkan. Ah, rupanya tak hanya sampah anorganik saja, suatu
kebencian pun juga bisa di daur ulang.
Saya benci
dia, Puan.
Saya benci
jika dia membaca ini—saya ragu ia akan menyempatkan barang sedetik untuk
membaca ini—dia tahu kalo surat ini bertema tentang dia. Saya benci dia tak
merasa mendapatkan maupun kehilangan setelahnya. Saya benci dia tahu bahwa rasa
ini belum mau padam dan masih menyala sampai sekarang. Bersinar terang ke
arahnya.
Saya benci
karena cukup bodoh untuk tidak mengetahui apa-apa yang selama ini ia
sembunyikan. Saya benci tak sanggup berhenti mencegah menerjemahkan isyarat-isyarat
tersamarnya. Isyarat yang ia beri lantas saya artikan dengan penuh percaya
diri. Seperti saat jemari kami bersentuhan di ruangan gelap berAC di depan
layar raksasa, dimana saya bisa merasakan getar nadi kami yang berdenyut
seirama. Ketika itu, dalam hati saya bertanya-tanya. Apa ini sebuah tanda? Apa
sentuhan itu ia lakukan secara tak sengaja? Ataukah ini semata-mata bukan
apa-apa?
Saya benci
merasa canggung mengajaknya mengobrol di kelas. Merasa tak nyaman berada
diantara tatap-tatap mata yang mengamati kami berdua. Kemudian mendadak saya
berubah menjadi diam dan pembicaraan kami tiba-tiba terasa menjengahkan. Saya
ingin kami menjadi alien. Makhluk asing yang mengendarai UFO. Supaya tak ada
yang mencampuri urusan kami. Dan kami bebas menikmati dunia yang hanya kami
yang mengerti. Dunia kami sendiri.
Saya benci
dia sering kali bersikap realistis. Fans fanatik istilah ‘Kongkret’ dan
‘Idzar’. Seperti kebiasaannya mengedepankan asas logika ketika saya sedang
ingin membahas tentang hati. Ilmu mana yang mampu menyatukan logika dengan hati,
coba? Keduanya layaknya Syahrini dan Ashanti, kecil kemungkinan dapat
berjalan beriringan menuju satu tujuan.
Saya benci
tak menemui rasa malas dalam menciptakan rencana demi rencana yang ingin saya
capai bersamanya. Sesuatu yang saya sebut: menembus
batas. Sesuatu yang mungkin bagi orang lain terkesan aneh, menyimpang dan
memalukan. Tapi saya tak ambil pusing seraya menggenggam tangannya lalu
berteriak bersama, ‘Persetan dengan kalian !’
Saya benci
merasa cukup hanya dengan dia. Dia itu ‘se’ bagi saya. Adjektiva yang berawalan
‘se’ adalah satu. Tunggal, bukan ganda—apalagi jamak. Namun sayang, saya benci
menyadari bahwa sepertinya saya bukan ‘se’ baginya. Hati manusia itu seperti
pecahan puzzle. Setiap dari kita akan mencari pecahan puzzle yang hilang. Dan
dia tak lagi berupa pecahan—dia telah lengkap. Dia telah mempunyai seseorang
yang mengutuhkan hatinya. Seorang lelaki. Lelakinya.
Damn.. I hate
it..
Puan, koleksi
benci-benci ini tak saya ketahui kapan akan kehabisan stock. Saya benci
memikirkan dia saat malam-malam seperti ini. Sialnya, saya tak mengerti siapa
yang malam ini melintas di benaknya. Mungkinkah saya? Ah, sudah pasti
lelakinya.
Jika memang
demikian, saya hanya mampu mengulang kata-katamu tempo hari lalu, Puan.
‘Puan, apa
dia benar-benar mencintai lelakinya?’ Dalam keraguan saya mencoba memperjelas
pertanyaan. ‘Apa hatinya sudah tak ada lagi celah?’
Kamu malah
tersenyum. Cengengesan. Menggeleng-gelengkan kepala kemudian tertawa pelan. Di
ujung tawa itu, kamu menjawab…
‘Barusan,
pertanyaanmu itu adalah retorik, bukan?’
Saya pun
terdiam. Lama.
Berjuang
memahami kata-kata Puan.
Retorik? Ah,
dasar puan !
(.‘’)(‘’.)
(.‘’)(‘’.)
Matur
nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan kejujuran dan
cuplikan angan
0 komentar:
Posting Komentar
Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!