Apa perubahan pada
diri kita yang biasa terjadi ketika kita menjalani suatu hubungan?
Kalo aku, hal
kecil yang biasa terjadi adalah munculnya dua sifat yang sebelumnya belum
pernah ada, yaitu egois dan cemburu. Menurutku, itu wajar dan manusiawi. Kadang
dalam cinta, rasa egoisme itu perlu. Begitu pula dengan rasa cemburu, dua rasa
itu menandakan bahwa kita ingin memiliki cinta dari orang yang kita sayang
secara sepenuhnya.
Aku pernah
bertanya dengan teman, apa bedanya iri dan cemburu. Dia dengan sisi easy going-nya menjawab, rasa iri timbul
karena didasari rasa benci, sedang rasa cemburu bisa tercipta karena adanya
cinta. Itu benar. Orang yang mengaku cinta, belum tentu ia pernah merasa
cemburu. Tapi orang tak akan merasa cemburu tanpa ia punya rasa cinta.
Dan saat ini,
kedua rasa itu, cemburu dan egois, muncul dan membayangi setiap langkahku.
Masalahnya, aku nggak sedang menjalani suatu hubungan. Aku cemburu dengan
seorang teman. Sayangnya, dia, perempuan itu, sudah ada yang memiliki.
Parahnya, perempuan itu tak tahu kalo aku ... cemburu padanya.
Aku tahu, aku
nggak seharusnya memiliki rasa itu. Begitu lancang, sesuatu yang tak berhak ku
rasakan. Tapi apa cinta mengenal itu semua? Cinta tak peduli pada aturan, waktu,
apalagi situasi. Cinta juga tak punya jadwal dan agenda. Ia datang tanpa
undangan maupun pemberitahuan, lalu memutuskan untuk tinggal atau pergi tanpa
permisi.
Ah, salahkah jika
aku dekat dengan perempuan yang punya ikatan?
Kedekatanku
dengannya diawali pada 30 July, saat ia merayakan pergantian usia keenam belas
tahun. Tentu saja ketika itu kita belum saling mengenal. Seusai bel tanda
pelajaran terakhir telah berakhir berdering, sebelum ia beranjak pulang, disela
keramaian, aku menyentuh jemarinya untuk kali pertama. Menyalaminya. Mengucap
selamat atas kasih sayang Tuhan yang telah memberinya pertambahan usia.
Berawal dari situ,
aku mulai mencandui senyumnya. Ia juga sempat bertanya, (atau meminta ijin)
untuk memanggilku ‘Rama’. Dan bagai tetesan sang hujan, rintik demi rintik
kisah kian berjatuhan, tersebar, membasahi halaman-halaman ceritaku dengan
dia—cerita kami.
Memang belum
berjalan lama, tapi teman yang lain mengatakan antara aku dan perempuan itu,
punya suatu ‘kedekatan’. Entahlah, aku juga belum mengerti, arti dekat apa yang
dimaksud.
Untukku, dia
seperti alkohol. Dia mempunyai zat yang berkhasiat sebagai sedativ, atau
penenang. Suatu bakat yang tak setiap perempuan memiliki, sebuah peneduh dan
tempat berlabuh ketika aku merasa tak punya tempat lain untuk mengadu keluh.
Dia juga bersifat adiktif, menyebabkan ketergantungan.
Salah satu faktor
penyebab ketergantungan itu adalah tahap demi tahap peristiwa yang kami rangkai
bersama. Dulu, kedekatan kami tak semudah kupu-kupu dan bunga, yang dengan
cepat sanggup menyesuaikan diri satu sama lain. Atau seperti matahari dan zat
hijau daun yang tak perlu banyak babibu
untuk menghasilkan sumber karbohidrat dalam proses fotosintesis. Tidak.
Ada kalanya saat
kami merasa canggung ketika pertama kali berbicara. Seolah acuh jika bertatap
muka, tapi saling sapa via media. Aku ingat (dan mungkin tak akan lupa)
bagaimana ia memasang raut muka sok cuek ketika aku meminjam catatan resep
miliknya. Bagaimana tingkahnya yang membuatku gemas saat aku berkunjung ke
rumahnya. Bagaimana celetuk-celetuk candaan khas-nya yang selalu sanggup
menebar tawa. Bagaimana tatanan rambut yang acak-acakan (yang menurutku,
cantik) dan aku menyukainya. Begitu pula senyumnya—tipis, tulus dan manja.
Pipinya yang berlesung. Alisnya yang tebal. Sepasang bola mata yang sulit
dibaca namun mudah berlinang butiran air. Juga caranya menyembunyikan rahasia
yang terselip dalam kepura-puraannya.
Mungkin aku sudah
cukup dekat.
Mungkin juga, aku
sudah kelewat dekat...
Sampai pada suatu
malam, dibawah pancaran temaram lampu mercury, disaksikan segelas kopi dan
secangkir teh hangat, lelakinya datang menghampiri. Menagih ‘hak milik’ yang ia
tak ingin aku jamahi. Menampilkan rasa cemburu dan sisi egois atas nama cinta.
Sang perempuan menangis, sang lelaki menyela-nyela. Sedangkan aku? Aku hanyalah
asap bagi secangkir teh dan embun bagi segelas kopi. Bukan apa-apa. Bukan
siapa-siapa. Aku ada atau tidak ada, bagi mereka, aku tetap tak berguna...
Malam itu,
tamparan dingin angin seakan menyadarkan aku, untuk membuka mata. Supaya bisa
lebih jelas melihat susunan beton. Sebuah tembok yang berdiri kokoh dan tinggi.
Sebagai tanda, bahwa perempuan itu, sudah ada yang memiliki.
Seandainya aku
memiliki kekasih, lalu tiba-tiba ada lelaki lain yang datang dan mendekat, maka
aku juga akan melakukan hal yang sama. Merasa egois dan cemburu.
Jadi kuputuskan
untuk menarik diri. Menciptakan jarak—meski hanya sejengkal jari. Menghargai
jalinan hubungan kamu dengan dia. Sebab aku percaya, jatuh cinta bisa dengan
orang yang tepat, tapi diwaktu yang salah...
Forgive me, bebek
:)
(.‘’)(‘’.)
(.‘’)(‘’.)
Matur
nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan kejujuran dan
cuplikan angan
0 komentar:
Posting Komentar
Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!