Pages

Jumat, 28 September 2012

Senja dan Hujan Tak Muncul Bersamaan...



Apa perubahan pada diri kita yang biasa terjadi ketika kita menjalani suatu hubungan?


Kalo aku, hal kecil yang biasa terjadi adalah munculnya dua sifat yang sebelumnya belum pernah ada, yaitu egois dan cemburu. Menurutku, itu wajar dan manusiawi. Kadang dalam cinta, rasa egoisme itu perlu. Begitu pula dengan rasa cemburu, dua rasa itu menandakan bahwa kita ingin memiliki cinta dari orang yang kita sayang secara sepenuhnya.

Aku pernah bertanya dengan teman, apa bedanya iri dan cemburu. Dia dengan sisi easy going-nya menjawab, rasa iri timbul karena didasari rasa benci, sedang rasa cemburu bisa tercipta karena adanya cinta. Itu benar. Orang yang mengaku cinta, belum tentu ia pernah merasa cemburu. Tapi orang tak akan merasa cemburu tanpa ia punya rasa cinta.

Dan saat ini, kedua rasa itu, cemburu dan egois, muncul dan membayangi setiap langkahku. Masalahnya, aku nggak sedang menjalani suatu hubungan. Aku cemburu dengan seorang teman. Sayangnya, dia, perempuan itu, sudah ada yang memiliki. Parahnya, perempuan itu tak tahu kalo aku ... cemburu padanya.

Aku tahu, aku nggak seharusnya memiliki rasa itu. Begitu lancang, sesuatu yang tak berhak ku rasakan. Tapi apa cinta mengenal itu semua? Cinta tak peduli pada aturan, waktu, apalagi situasi. Cinta juga tak punya jadwal dan agenda. Ia datang tanpa undangan maupun pemberitahuan, lalu memutuskan untuk tinggal atau pergi tanpa permisi.

Ah, salahkah jika aku dekat dengan perempuan yang punya ikatan?

Kedekatanku dengannya diawali pada 30 July, saat ia merayakan pergantian usia keenam belas tahun. Tentu saja ketika itu kita belum saling mengenal. Seusai bel tanda pelajaran terakhir telah berakhir berdering, sebelum ia beranjak pulang, disela keramaian, aku menyentuh jemarinya untuk kali pertama. Menyalaminya. Mengucap selamat atas kasih sayang Tuhan yang telah memberinya pertambahan usia.

Berawal dari situ, aku mulai mencandui senyumnya. Ia juga sempat bertanya, (atau meminta ijin) untuk memanggilku ‘Rama’. Dan bagai tetesan sang hujan, rintik demi rintik kisah kian berjatuhan, tersebar, membasahi halaman-halaman ceritaku dengan dia—cerita kami.

Memang belum berjalan lama, tapi teman yang lain mengatakan antara aku dan perempuan itu, punya suatu ‘kedekatan’. Entahlah, aku juga belum mengerti, arti dekat apa yang dimaksud.

Untukku, dia seperti alkohol. Dia mempunyai zat yang berkhasiat sebagai sedativ, atau penenang. Suatu bakat yang tak setiap perempuan memiliki, sebuah peneduh dan tempat berlabuh ketika aku merasa tak punya tempat lain untuk mengadu keluh. Dia juga bersifat adiktif, menyebabkan ketergantungan.

Salah satu faktor penyebab ketergantungan itu adalah tahap demi tahap peristiwa yang kami rangkai bersama. Dulu, kedekatan kami tak semudah kupu-kupu dan bunga, yang dengan cepat sanggup menyesuaikan diri satu sama lain. Atau seperti matahari dan zat hijau daun yang tak perlu banyak babibu untuk menghasilkan sumber karbohidrat dalam proses fotosintesis. Tidak.

Ada kalanya saat kami merasa canggung ketika pertama kali berbicara. Seolah acuh jika bertatap muka, tapi saling sapa via media. Aku ingat (dan mungkin tak akan lupa) bagaimana ia memasang raut muka sok cuek ketika aku meminjam catatan resep miliknya. Bagaimana tingkahnya yang membuatku gemas saat aku berkunjung ke rumahnya. Bagaimana celetuk-celetuk candaan khas-nya yang selalu sanggup menebar tawa. Bagaimana tatanan rambut yang acak-acakan (yang menurutku, cantik) dan aku menyukainya. Begitu pula senyumnya—tipis, tulus dan manja. Pipinya yang berlesung. Alisnya yang tebal. Sepasang bola mata yang sulit dibaca namun mudah berlinang butiran air. Juga caranya menyembunyikan rahasia yang terselip dalam kepura-puraannya.

Mungkin aku sudah cukup dekat.
Mungkin juga, aku sudah kelewat dekat...

Sampai pada suatu malam, dibawah pancaran temaram lampu mercury, disaksikan segelas kopi dan secangkir teh hangat, lelakinya datang menghampiri. Menagih ‘hak milik’ yang ia tak ingin aku jamahi. Menampilkan rasa cemburu dan sisi egois atas nama cinta. Sang perempuan menangis, sang lelaki menyela-nyela. Sedangkan aku? Aku hanyalah asap bagi secangkir teh dan embun bagi segelas kopi. Bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa. Aku ada atau tidak ada, bagi mereka, aku tetap tak berguna...

Malam itu, tamparan dingin angin seakan menyadarkan aku, untuk membuka mata. Supaya bisa lebih jelas melihat susunan beton. Sebuah tembok yang berdiri kokoh dan tinggi. Sebagai tanda, bahwa perempuan itu, sudah ada yang memiliki.

Seandainya aku memiliki kekasih, lalu tiba-tiba ada lelaki lain yang datang dan mendekat, maka aku juga akan melakukan hal yang sama. Merasa egois dan cemburu.

Jadi kuputuskan untuk menarik diri. Menciptakan jarak—meski hanya sejengkal jari. Menghargai jalinan hubungan kamu dengan dia. Sebab aku percaya, jatuh cinta bisa dengan orang yang tepat, tapi diwaktu yang salah...

Forgive me, bebek :)

(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)

Matur nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan kejujuran dan cuplikan angan


0 komentar:

Posting Komentar

Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!