Pages

Jumat, 24 Februari 2012

Rahasia kecil dalam menulis




Kadang, ketika aku selesai menulis, lalu mempublikasikannya, dan mereka membaca tulisanku. Kemudian mengatakan, bahwa mereka menyukai tulisanku. Itu membuatku menjadi exited, ada semacam setitik rasa puas dalam diri. Bukan puas karena aku berhasil menghipnotis mereka lewat tulisanku. Melainkan, perasaan puas, karena dengan menulis.. kadang aku merasa menjadi diriku sendiri. Diriku yang asli, diriku yang nggak dibuat-buat, nggak terdesak oleh tuntutan, nggak tertekan oleh ketakutan.. menjadi diriku yang sesungguhnya.

            Dengan menulis aku semakin mengenal siapa aku. It’s true.

            Dari sekian tulisan yang aku buat, aku belum pernah merasa sedekat ini dengan tulisanku sendiri. Rasanya seperti aku menemukan tempat dimana seharusnya aku berada. Seperti mendapatkan apa yang selama ini—susah payah—aku cari. Bagai di tempat yang serba gelap, dan menulis-lah yang menjadi titik terang sebagai satu-satunya sumber pencahayaan.

            Untuk apa kamu menulis?’ salah satu teman bertanya. ‘Apa enaknya menulis?’

            Di saat dia bertanya, aku cuman menjawab ‘Banyaklah pokoknya.’ Lalu bergegas meninggalkan dia. Aku memang sengaja enggan untuk menjelaskan kepadanya secara runtut. Karena aku yakin, dia nggak akan pernah tau. Dia nggak akan pernah mengerti.

Dalam perjalanan, langkah demi langkah ku habiskan untuk merenungi pertanyaannya.

Untuk apa aku menulis?

Sejujurnya, aku menulis itu untuk bercerita. Menghibur sambil berbagi kisah. Yap, memang itu alasan yang sangat nggak efektif dan norak. Tapi memang itu tujuan ku menulis.

            Jika suatu waktu aku menemui suatu momen dalam hidup, tanpa berpikir panjang, tanganku seperti pengen bergerak untuk mengetik. Seperti ada yang pengen aku bicarain, aku ceritain dan aku curahin ke dalam tulisan. Seperti, kejadian yang telah lalu, aku merasa terlalu eman-eman untuk di buang begitu aja.

Ketika merasa senang, ketika merasa sedih, menulis memberiku kebebasan untuk berbagi dan berekspresi. Meski suatu saat, aku juga merasa menulis adalah sebuah jembatan untuk berkomunikasi dengan pembaca. Seakan memberitahu mereka, kalo aku juga pernah merasakan apa yang mereka rasa. Aku pernah menjadi salah satu bagian dari mereka. Dimana hidupku nggak seindah kalimat di dalam tulisanku. Bahwa aku pernah—sering, mengalami masa hitam di hidupku.

Hidup nggak selalu bahagia. Jauh pada tempo masa lalu, ketika aku mendapati diriku sedang terjatuh, terkapar dan terluka pada suatu masa. Saat itu juga, aku cuman terdiam, memendam segenab rasa yang bergulat di dada. Kadang, aku merasa pengen bercerita, tapi nggak tau.. harus bercerita kepada siapa? Kadang, aku pengen mengungkapkan.. tapi nggak tau, bagaimana caranya?

Dan selang waktu berapa lama, aku terus memendamnya. Membuatku menjadi pribadi yang tertutup. Membuatku selalu merasa egois, seolah nggak membutuhkan orang lain. Dan pada akhirnya.. aku hanya menyimpan segala rasa tak tercurah itu di dalam hati.. seorang diri.

Namun, kini aku mengerti, aku salah. Egois hanya akan semakin memperburukku. Aku tau, aku nggak bisa selamanya menyembunyikan rasa. Sesuatu yang sebelumnya aku pendam, harus dicurahkan. Hal itu membuatku mempelajari satu hal.. jauh dalam diriku, sebenarnya.. aku butuh kalian.

Nggak terasa, dari awal aku menyalakan laptop, berhadapan dengan lembar Ms Word yang masih putih, sedikit demi sedikit aku mengisinya. Dengan jajaran huruf-huruf, membentuknya menjadi barisan kalimat, lalu menyusunnya menjadi paragraph demi paragraph. Dan.. dua halaman pun jadi. Sudah jam satu malam.

Aku menutup laptop, lalu merebahkan diri ke tempat tidur. Merasakan hilir mudik hembusan angin malam. Merenung sendirian.

Bersama hening malam, aku menutup mata. Membayangkan seperti berdiri di mulut lorong goa yang begitu gelap dan curam. Dengan membawa obor, aku masuk ke dalam goa itu. Mencari sesuatu yang bisa aku temukan lantas kubawa pulang. Dan ketika di depanku ada sebuah peti, aku membukanya.

Perlahan-lahan, aku membuka dengan hati-hati. Dalam pikiranku, aku berharap, di dalam peti itu berisi harta karun atau emas atau permata. Tapi bukan.
                                                       
Ketika peti itu terbuka, lalu aku melihat kedalamnya, peti itu berisi.. sebuah cermin.

Ya, tidak ada harta karun atau emas atau permata, melainkan hanya sebuah cermin.

Tidak, tapi aku tidak kecewa.

Aku memegang cermin itu dengan kedua tangan, memandangi bayangan ku yang terpantul di cermin. Disitu aku melihat.. diriku.

Itu yang harus aku lakukan. Melihat diriku sendiri. Mencoba mencari tahu siapa aku ini? Mencoba mengerti, apa yang aku mau dan apa yang aku inginkan, dimana tempatku, dan apa yang bisa aku raih dan genggam di tempat itu?

Aku membuka mata, berhenti berimajinasi, dan beranjak merakit mimpi..     
Seiring dengan berakhirnya sang malam, kini aku tau..

Menulis adalah keseimbangan antara memberi dan mendapatkan..
Menulis adalah kebebasan untuk berbagi dan berekspresi.. dan,
Menulis adalah.. menjadi diriku sendiri.


In my room, alone
February, 24 2012
1.45 am

(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)

                                                                       www.tarianbinbin.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!