“Apakah kau peduli? Jika ternyata ku jatuh hati..
Apakah kau mau tahu, jika ku jatuh hati padamu..”
--Ipang, OST
Republik Twitter--
Dini hari. Sendiri. Dan secangkir kopi.
Kembali lagi, ritual kecil yang dulu pernah ada, sempat
saya rindu dan pernah selama beberapa waktu saya jalani. Menulis. Tentang kamu,
perempuan yang saya sebut ‘milikku’.
Saya bingung mau mulai dari mana. Rasanya aneh setelah
terasa lama vakum menulis. Seperti seorang bocah yang cengar-cengir menemukan
DVD game online favoritnya yang usang. Usang, tapi tetap sayang jika dibuang,
pun jika hilang.
Hei, kamu tau, malam ini saya tersenyum loh. Malam ini
saya teringat kamu. Ucapanmu. Aromamu. Juga kecupanmu.
Baru saja saya selesai melahap habis film Arisan 2. Film,
yang dari skala satu sampai sepuluh, saya kasih nilai 90. Film yang rasanya
cocok dimasukkan ke dalam list Friday Movie kita.
Oke, saya berbohong. Tadi sekitar jam sembilan lewat tiga
puluh, saya bilang saya mengantuk. Menyudahi obrolan via pesan pendek ponsel
dengan kamu. Saya memang nggak mengantuk, bahkan sampai jam segini, dua
seperempat pagi, mata saya masih tajam setajam jari-jari ini ketika menekan
tuts keyboard.
Lalu, kenapa saya
berbohong?
Saya memang sengaja mengakhirinya. Saya kehabisan bahan obrolan.
Iya, ini terjadi berulang kali. Saya malas jika saja topik yang ada mengalir
tanpa muara, menuju delta yang tak teridentifikasi oleh peta. Hanya berjalan,
tapi nihil arah dan tujuan. Saya tak mau itu. Makanya saya menyudahinya.
Nggak kok, saya nggak lantas berganti channel dengan
beralih merangkai saluran-saluran komunikasi bersama perempuan lain. Crobi—yang
sudah bukan Crobi lagi, terdiam sedari tadi dengan warna hitam membalut
layarnya. Tak ada satu pesan pun. Pesanmu yang terakhir kali menyinggahinya.
Tapi juga bukan berarti saya menikmati film ini tanpa
prahara. Selain semilir angin, ingatan tentangmu pun kerap muncul. Tepatnya,
kalimatmu lah yang berseliweran. Mondar-mandir seperti pesawat capung yang
tebang berkali-kali di atas kita ketika kita tengah selonjoran di depan Benteng
Vren Dern Burg.
Seminggu yang lalu, kamu pernah bilang, ‘Mulai sekarang aku pengin punya jadwal
ngobrol sama setiap nama di kontak ponselku. Rutin.’ Begitu, singkat saja.
Dan itu mengganggu.
Awalnya, saya menganggap itu nggak adil. Kamu itu bunga,
mereka itu kupu-kupu. Sedikit saja kamu memamerkan baumu, bila kupu-kupu itu
mengendus, mereka akan datang. Berbondong-bondong dengan senang hati memenuhi
daftar hadir undangan. Berlomba menghisap sari-sari bungamu. Persis seperti ibu
rumah tangga yang mencium bau diskon baju jelang hari lebaran. Goblok jika
menyia-nyiakan kesempatan.
Mungkin bagimu ini terkesan berlebihan. Tapi saya pasti
meledak kayak petasan andai memaksa lebih lama untuk memendam. Nggak, saya nggak
melarang. Disini tersedia kebebasan. Jadi, tolong bedakan, antara melarang dan… takut kehilangan.
Sebentar, tapi
apanya yang nggak adil?
Nggak adil karena disana kamu, saya tahu, tanpa perlu
susah payah mencari, lelaki-lelaki itu pasti akan berdatangan untuk kamu.
Merampok sebagian besar jatah waktumu, termasuk jatah waktu yang sebelumnya
kamu sisakan untuk saya.
Sedangkan saya? Disini saya tak mencari siapa-siapa
selain kamu, tidak pula dicari siapa-siapa kecuali kamu—yang sampai saat ini
masih mau-maunya mencari saya. Bukannya saya nggak berkenan jika kamu
memperbanyak teman, silakan. Saya hanya ingin kamu mengerti, bahwa tentang
cerita yang ada antara kamu dan saya, saya belum rela jika harus disudahi.
Nggak. Nggak hari ini. Nggak saat ini.
Dan setelah saya coba koreksi, ternyata saya salah. Semua
yang terjadi adalah adil. Keadaan tak menentukan suatu keadilan. Bukan pula
polisi, pengacara ataupun hakim yang bijaksana. Tapi diri kita sendiri. Diri
saya. Adil atau tidaknya yang terjadi di depan mata adalah kemauan kita untuk
menggunakan hak pilih untuk memilih. Memilih diam saja, atau bertindak dan
mengubah segalanya.
Logikanya, kalo kamu bisa bercumbu mesra dengan lelaki
lain, tentu saya juga bisa melakukan hal yang sama. Namun kalo kita menyaingi
kemampuan orang lain dengan tujuan memamerkan
diri bahwa kita tak kalah dan tak rendah dibanding orang itu, bukannya itu
sama saja menunjukkan bahwa betapa kita menaruh harga diri di kasta yang
(sangat) murah?
Lagipula, kita sama-sama tahu bahwa perbandingan tak akan
membawa kita kemana-mana. Perbandingan hanyalah sebuah perbandingan. Mungkin
hanya saya saja yang kelewat rumit menjabarkan semua paragraf diatas yang
dengan jelas dapat disimpulkan bahwa saya… saya
cemburu.
Iya, saya cemburu.
Benci sama kamu.
Kalo sudah begini, palingan saya cuma bisa menghibur diri
dengan kata-kata. Kalimat penghibur yang kebanyakan berisi Bullshit. Sebab, kata-kata hanya mengalihkan perhatian saya dari
pahitnya kenyataan. Tapi tak merubah apa-apa.
Saya berbohong bila saya berkata, ‘Ah sudahlah, itu kan urusan dia. Persetan. Saya ndak mau ambil pusing.
Suka-suka jidat dia lah. Ngapain saya peduli?’
Saya berbohong bila saya berucap, ‘Yaa paling ndak, dengan begitu dia bisa bahagia. Toh dia begitu karena
itu adalah pilihannya. Bukannya cinta itu ikhlas menerima apa saja asalkan
orang yang kita sayang bahagia?’
Saya berbohong bila saya bicara omong kosong, ‘Apapun yang terjadi, saya yakin, dia pasti
kembali. Jika memang Tuhan yang menghendaki..’
Jadi, mana bagian
saya yang tak berbohong?
Saya nggak berbohong bahwa…
Saya tahu, banyak orang bilang, cerita cinta hanyalah
lakon melodrama yang akan termakan usia dan menjadi sejarah kuno. Kalimat ‘I
love you..’ nantinya hanya akan terngiang sebagai kenangan.
Menyenangkan memang, memutar ulang rekaman sejarah
tentang kamu, tapi saya tak ingin puas sampai disitu. Lebih dari itu, bukan
hanya mengenang, tapi saya juga ingin menciptakan sejarah-sejarah baru bersama
kamu..
Membuktikan bahwa ‘I love you..’ bukan sekedar kenangan..
Melainkan, bahwa ‘I love you..’ adalah suatu kenyataan..
Iya, kenyataan.. perasaan saya untuk kamu, adalah nyata.
I love you, and I always do..
catatan untuk kamu,
perempuan yang semalam membenci saya
lantaran saya tak kunjung pulang..
saya mencintaimu. selalu.
(.‘’)(‘’.) (.‘’)(‘’.)
Matur
nuwun sudah kersa pinarak ke gubuk kecil saya
Sebuah gubuk, tempat menabung potongan
kejujuran dan cuplikan angan
0 komentar:
Posting Komentar
Thanks for Reading. Follow my instagram account @abadikanmu and see you there!